Tuesday, 22 February 2011

Cerita (Curhat) Dokter

Tulisan ini merupakan salah satu dari kumpulan artikel dari Buku yg ditulis dr.Yose Waluyo yang berjudul "Doctor; The Ordinary Me", tulisan ini sebenarnya buah pemikiran yang lahir setelah melihat fenomena ketidakpuasan masyarakat terhadap dokter dan ketidakpedulian pemerintah terhadap profesi ini... pemikiran yg kemungkinan bergejolak di benak seluruh dokter akan tetapi belum dapat diungkapkan hingga akhirnya dr.Yose membuat tulisan ini


Sudah menjadi suratan seorang dokter untuk dianggap seorang dewa. Dokter adalah makhluk Tuhan yang tercipta untuk menolong sesama, dokter adalah malaikat yang tidak boleh melakukan kesalahan, dokter adalah penyembuh, bahkan dokter dianggap sebagai penyebab hidup atau matinya seseorang. Tapi mungkin tidak banyak yang sadar bahwa dokter juga manusia yang bisa lelah, dokter adalah juga seperti manusia umumnya yang bisa melakukan kesalahan, dokter hanyalah manusia yang disumpah untuk melakukan yang terbaik sesuai kemampuannya dan bukan bersumpah untuk menjadi sempurna.

Di sebuah tempat terpencil di kepulauan yang berpenduduk lumayan padat, sebut saja dokter Agus memberi pelayanan di Puskesmas dari jam 8 pagi sampai 4 sore, malamnya dia membuka praktek di rumah sampai jam 10 malam. Suatu ketika saat dr. Agus bersiap tidur, seorang pemuda membangunkannya dan mengatakan bahwa ayahnya sedang sakit keras. Walau masih dilanda lelah, sang dokter pun pergi ke rumah tersebut dan kembali setelah lewat tengah malam. Belum sempat matanya terpejam, jam 3 subuh seseorang mengetuk pintu dan mengaku kalau ibunya sedang sakit. Sesampainya di rumah yang dituju, sang pasien tampak sedang duduk dan menikmati kopi. Ternyata ibu itu hanya tidak bisa tidur. Tidak sebanding dengan kelelahan yang ia alami, kontan emosi dr. Agus naik, karena itu bukanlah sesuatu yang gawat untuk segera di tangani. Malangnya, bukan pengertian yang didapatkan oleh Dokter tersebut, namun cacian dari keluarga pasien.”Ini kewajiban Anda” kata orang seisi rumah itu.

Di sebuah Rumah Sakit Negeri tampak seorang dokter sedang kebanjiran pasien yang datang tidak ada hentinya malam itu. Seorang pasien datang dengan keadaan sangat parah sehingga sang Dokter merasa perlu melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang tentu harus menekan dada sang pasien, namun sayang pasien tersebut tidak tertolong dan dia meninggal dunia. Tahukah Anda apa yang dihadapi sang dokter selanjutnya? Dia tidak bisa pulang setelah shift usai karena ditunggu keluarga korban tersebut. Mereka merasa meninggalnya korban adalah akibat tindakan yang diberikan dokter tersebut.

Di sebuah Rumah Sakit Swasta di Jakarta, seorang dokter harus membayar sebesar 2 milyar rupiah karena dianggap salah mendiagnosa.

Mungkin ada baiknya masyarakat tahu kalau ada dokter yang terserang penyakit TBC hanya karena telah menangani pasien TBC, atau dokter yang terkena malaria cerebral selelah ditugaskan di daerah endemik malaria. Seorang dokter muda meninggal dunia karena pecah pembuluh darahnya setelah jaga di Rumah Sakit tanpa tidur yang merupakan hak dasar bahkan untuk seorang bayi. Tahukah masyarakat bahwa dokter itu juga bisa lelah, bisa salah, bisa lalai, dan memang manusia seperti hakim yang tidak selalu benar membuat keputusan, seperti polisi yang bisa salah tangkap, seperti pengusaha yang bisa salah perhitungan, seperti guru yang tidak selalu benar, atau bahkan seorang peneliti yang menjadi benar setelah ribuan kesalahan, toh kebanyakan dari merekapun berurusan dengan manusia ?

Lihat bagaimana pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling beresiko dan dihantui orang hukum. Pekerjaan ini adalah pekerjaan tanpa asuransi proteksi untuk semua resikonya namun obyek hukum yang empuk untuk dicari kesalahan. Tidakkah orang tahu kalau ilmu kedokteran adalah seni sehingga tidak seperti matematika yang hasilnya pasti. Ilmu kedokteran bukan ilmu fisika yang rumusnya tetap dan konstan. Ilmu kedokteran bukan seperti kimia yang hasil akhirnya pasti. Ini adalah seni yang bisa memandang obyek dari cara-cara yang berbeda, penanganan yang berbeda dengan tujuan yang sama : memberi yang terbaik untuk mengurangi kesakitan pasien sesuai dengan keilmuannya.

Jadi, masih ada yang mau menjadi dokter ? Untuk menjadi dokter, rata-rata mahasiswa menghabiskan waktu 6 tahun lamanya, jika mereka lanjutkan dengan spesialis yang rata-rata menghabiskan 4-5 tahun, total waktu pendidikannya adalah 11 tahun, setelah itu dokter harus membuat Surat Izin Praktek yang sebelumnya harus lulus ujian kompetensi dan seandainya tidak lulus, mereka harus menunggu 3-6 bulan kemudian untuk ujian kembali. Setelah lulus, surat izin dikantongi kira-kira 6 bulan kemudian. Belum cukup menarik nafas, masih ditambah PTT selama 2 tahun. Bisa kita bayangkan betapa berbelit dan lamanya seorang dokter dari lulus sampai kemudian bisa praktek dan memperoleh penghasilan. Dari segi pendanaan pendidikan sekolah kedokteran terkenal dengan pendanaan yang paling besar, bahkan kini angka 200 juta rupiah untuk uang masuk adalah harga bandrol yang dianggap normal, belum dengan SPP 3-12 juta rupiah persemester ditambah 100-250 ribu per Satuan Kredit Semester (SKS) juga merupakan angka fantastis untuk orang kebanyakan. Kita tidak bisa naif menuntut dokter untuk bekerja sepenuh hati sedangkan hak mereka tidak terpenuhi.

Beberapa kasus yang menyeret dokter ke meja hijau dan akhirnya harus menjadi terpidana karena salah mendiagnosa sudah sering kita dengar, akan tetapi seberapa sering kita mendengar seorang hakim yang kemudian diperkarakan karena menjebloskan seseorang ke penjara dan kemudian hari diketahui bahwa ternyata orang tersebut tidak bersalah. Sekali lagi hukum dibuat dengan standar ganda dan memojokkan profesi dokter. Selain sebagai makhluk sosial, dokter juga makhluk individu yang memiliki kepentingan pribadi, yah.. Dokter juga manusia. Belum lagi posisi dokter yang selalu dipojokkan oleh masyarakat ketika merasa tidak mendapat pelayanan yang optimal di rumah sakit, padahal sistemlah yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi.

Tidak semua dokter berasal dari keluarga yang mapan, tidak semua dokter memiliki klinik dan tidak semua dokter dapat melanjutkan ke sekolah spesialisasi, tapi semua orang tua dokter mengharapkan anaknya kerja dengan tenang dan gaji yang layak.

Mulai sekarang tampaknya pemerintah benar-benar harus bijak menyikapi riak yang terjadi di masyarakat, riak yang sebenarnya disadari betul oleh pemerintah tapi begitu lambat direspon. Jangankan dengan tulisan bahkan sebuah demo besar sekalipun. Kita semua sadar bahwa setiap dari kita memegang peranan vital masing-masing dalam memberi kontribusi bagi bangsa dan negara. Mungkin setelah ini kita tidak patut lagi bertanya kenapa harga konsultasi seorang dokter begitu mahal, kenapa harga obat meningkat, kenapa pelayanan dokter tidak begitu optimal dan mengapa sering terjadi malpraktik. Karena dokter selalu dituntut untuk manusiawi ketika kita berbicara tentang kewajibannya, tapi tidak dianggap manusia ketika menuntut haknya.

source : kaskus thread

No comments:

Post a Comment